STT Mandala giri Memiliki kelian yang baru yang bernama I Made derik Yasnawan semoga Kelian STT mandala Giri ini bisa menjadi pemimpin yang bisa melakukan perubahan dari yang kemarin-kemarin , selamat Buat Derik yang menjadi kelian STT atau Ketua Pemuda pemudi , dan semoga menjadi cerminan yang berdedikasi tinggi dan menjadi contoh bagi rekan-rekan atau anggotanya selama 6 bulan kedepan
Pariwisata BALI UTARA
I WAYAN AGUS DARSANA BANJAR KIADAN,DESA PELAGA , KECAMATAN PETANG , KABUPATEN BADUNG MANGUPURA BALI INDONESIA
Translate
Rabu, 24 September 2014
Senin, 19 Agustus 2013
Produksi Produk Tanaman Di Daerah banjar Kiadan Pelaga
Menyeruput Tradisi Kopi Bali
Sabtu, 14 Juni 2008 14:03 wib
Foto: Corbis
TUR menelusuri tradisi masyarakat Desa Adat Kiadan Pelaga, memberi nilai-nilai kearifan lokal secara lebih jujur.
Hawa dingin mulai merasuk ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki kawasan Desa Adat Kiadan Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali. Setelah hampir satu jam berkendara dari Kota Denpasar, menempuh perjalanan sejauh 60 km, kami berhenti di Balai Subak Abian Sari Boga Kiadan Pelaga.
Subak merupakan organisasi petani tradisional di Bali yang bertugas memelihara dan mengatur sistem irigasi pertanian secara turun-temurun.
"Di sini kami biasanya melakukan pertemuan-pertemuan adat, juga pertemuan untuk membahas masalah-masalah pertanian. Tapi kalau ada tamu, kami upgrade jadi seperti ini," tutur Gede Wirata, local guide asal desa setempat yang menyambut kami.
Balai Subak itu terlihat berbeda, disulap menjadi layaknya sebuah restoran. Kata Wirata, hal itu dilakukan setiap kali ada wisatawan datang ke Pelaga.
"Kami menyebut tempat ini dengan sebutan Kubu Kopi Kiadan," ucap pria yang sudah delapan tahun menjadi pemandu wisata di desanya. Kubu merupakan sebutan untuk bangunan semacam gubuk di Bali. Disebut Kubu Kopi karena kopi merupakan produk unggulan desa ini.
Sudah hampir enam tahun masyarakat adat Pelaga membuka diri pada kegiatan pariwisata di desa mereka. Masyarakat Pelaga menawarkan tradisi mereka sendiri sebagai daya tarik dari aktivitas wisata yang biasa disebut wisata pedesaan (village tours)
"Silakan dicoba. Ini kopi look (dibaca lok) khas Pelaga," ujar Wirata sembari menyerahkan sebuah cangkir kosong. Tangannya menunjuk ke tungku tanah dengan periuk hitam di atasnya. Asap yang keluar dari periuk beraroma sedap.
Tak jelas kenapa masyarakat menyebutnya kopi look. Menurut Wirata, look merupakan sebutan khas turuntemurun warga Kiadan untuk kopi yang diolah secara tradisional dan direbus langsung dari tungku tanah liat. Kekhasan tradisi itu pula yang ditunjukkan masyarakat adat Kiadan kepada setiap wisatawan yang datang ke desa mereka. Periuk tanah yang sudah menghitam, disajikan seadanya. Kopi pun dituang dengan sendok besar dari batok kelapa yang terlihat agak usang. Sangat natural.
Menyeruput kopi look di tengah hawa dingin Pelaga, memberi kehangatan yang nikmat. Nikmat karena rasa kopi look yang kental, hitam pekat, dan beraroma kuat. Apalagi ditemani dengan sepiring kecil kue lukis injin, kue khas Kiadan dari kukusan ketan hitam yang dilengkapi taburan kelapa parut dan siraman gula aren.
Rasa nikmat kopi look mengundang penasaran. Kami lantas diajak menyusuri lebih dalam tradisi kopi Kiadan Pelaga. Mulai bagaimana kopi ditanam, dirawat, dipanen, dan diolah hingga siap dinikmati.
Wirata mengajak kami ke sebuah kebun kopi. Tak jauh dari Kubu Kopi Kiadan. Hamparan tanaman kopi yang buahnya mulai memerah, tampak cantik di antara rimbun pohon dadap dan pohon mindi. Sambil berjalan menyusuri jalan sempit di antara tanaman kopi, Wirata membagi pengetahuannya tentang menanam dan memanen kopi.
Bagian paling menyenangkan dari perjalanan kopi ini adalah memetik biji-biji kopi. Kebetulan kami datang tepat di masa-masa panen kopi. Pemilik kebun Ni Made Cita langsung mengajari kami cara memilih kopi layak panen. "Yang warnanya merah tua merata, bisa dipetik," ujar perempuan 43 tahun itu.
Puas memetik sendiri biji kopi Pelaga, kami diajak menengok proses pengolahan biji kopi secara tradisional. "Untuk pengolahan tradisional, kopi yang baru dipetik dijemur langsung di bawah terik matahari selama berhari-hari hingga kering. Setelah kering, biji kopi dibersihkan dari kulitnya, lalu disangrai di atas tungku kayu bakar," tutur Wirata.
Sebagian besar petani kopi Pelaga mengolah biji kopinya secara tradisional. Ini menjadi bagian unik lain yang bisa dinikmati di Pelaga. Pasalnya, mereka masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, seperti tungku batu bata berukuran besar, penggorengan dari tanah liat, dan sendok kayu berukuran sedang.
Menelusuri tradisi kopi di Desa Adat Kiadan Pelaga, benar-benar memberi pengalaman wisata yang luar biasa. Setidaknya, hal itu yang dirasakan seorang pengunjung, I Gede Ardika. Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI ini mengaku kagum dengan ekowisata Pelaga. "Ini benar-benar pariwisata dari, oleh, dan untuk masyarakat. Memperkenalkan tradisi khas masyarakat secara jujur," ujarnya bangga.
Penasaran? Bila Anda berkunjung ke Bali, jangan lewatkan kesempatan menyeruput tradisi kopi khas Bali lewat ekowisata Desa Kiadan Pelaga.
Apa yang ditawarkan Banjar Kiadan Pelaga kepada pengunjung
Perjalanan di Kiadan Pelaga berbeda-beda, tergantung pada ketertarikan anda dan kegiatan yang sedang berlangsung di banjar ketika anda berkunjung. Rencana perjalanan akan dibuat berdasarkan kesepakatan dengan anda, sebelum keberangkatan. Aktivitas yang dapat anda pilih di Kiadan Pelaga terdiri dari:
Belajar dan membantu proses pengolahan kopi. Pemandu lokal akan mengajak anda melewati setiap tahap dalam prosesnya, diawali dari cara menanam dan memelihara, memetik biji kopi, mengeringkan, mengupas, menyangrai, dan menggiling untuk pengolahan kopi kering. Selama melakukan hal tersebut anda akan bertemu dengan petani di setiap tahapan, dan anda bisa mempelajari segala hal yang terjadi di belakang bisnis kopi yang ada.
Berkeliling wilayah banjar dengan pemandu lokal. Kegiatan ini merupakan peluang bagi anda untuk mendengar dan mengetahui hal unik dari sejarah dan budaya Kiadan Pelaga. Anda juga akan belajar tentang isu pengelolaan sumberdaya wilayah. Anda diharapkan untuk tidak mengeksplorasi pura desa dan mataair, karena keduanya sangat terkait dengan kepercayaan lokal.
Treking kebun dan hutan. Berjalan menyusuri pegunungan dan menikmati udara yang dingin, mencium bau tanah. Anda akan berjalan menuju sungai yang bening dan bersih. Anda juga akan melihat berbagai jenis tenaman dan mendengar suara burung di tengah perjalana. Pemandu lokal anda akan menceritakan segala jenis tanaman hutan dan cara melestarikannya. Sebelum berangkat anda akan dibekali sebotol air minum, dan sebuah tongkat untuk digunakan dalam perjalanan karena medan yang dilalui curam dan licin.
Melihat berbagai jenis burung di pagi hari. Anda juga bisa mengabadikannya dengan kamera anda. Pemandu anda akan menceritakan jenis burung yang ditemui. Jika beruntung, anda bisa menjumpai burung titiran, jenis burung yang berperan dalam keberadaan orang Kiadan Pelaga. Untuk kegiatan ini, anda disarankan bermalam di Kiadan Pelaga karena berbagai jenis burung paling banyak bisa dilihat pada pagi hari ketika matahari terbit.
Belajar dan merasakan nasi dari padi lokal. Jenis padi lokal yang ditanam pada lahan kering ini sudah jarang terdapat di Bali. Padi organik berwarna merah, disimpan di dalam lumbung padi setelah panen. Anda bisa melihat tanaman yang lebih tinggi dari padi pada umumnya, yaitu sekitar satu meter ketika akan dipanen. Anda bisa ikut memanen untuk kemudian merasakan nasi lokal organik. Kegiatan ini hanya bisa dinikmati satu tahun sekali, yaitu pada bulan Februari.
Anda akan disambut dengan kopi khas Kiadan yang asli dan organik, dengan makanan ringan. Makan siang ala Bali akan disediakan untuk semua perjalanan sehari di Kiadan Pelaga. Jika anda memutuskan untuk bermalam atau tinggal beberapa hari, makan pagi, siang, dan malam, serta dua kali makanan ringan juga akan disediakan.
Hawa dingin mulai merasuk ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki kawasan Desa Adat Kiadan Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali. Setelah hampir satu jam berkendara dari Kota Denpasar, menempuh perjalanan sejauh 60 km, kami berhenti di Balai Subak Abian Sari Boga Kiadan Pelaga.
Subak merupakan organisasi petani tradisional di Bali yang bertugas memelihara dan mengatur sistem irigasi pertanian secara turun-temurun.
"Di sini kami biasanya melakukan pertemuan-pertemuan adat, juga pertemuan untuk membahas masalah-masalah pertanian. Tapi kalau ada tamu, kami upgrade jadi seperti ini," tutur Gede Wirata, local guide asal desa setempat yang menyambut kami.
Balai Subak itu terlihat berbeda, disulap menjadi layaknya sebuah restoran. Kata Wirata, hal itu dilakukan setiap kali ada wisatawan datang ke Pelaga.
"Kami menyebut tempat ini dengan sebutan Kubu Kopi Kiadan," ucap pria yang sudah delapan tahun menjadi pemandu wisata di desanya. Kubu merupakan sebutan untuk bangunan semacam gubuk di Bali. Disebut Kubu Kopi karena kopi merupakan produk unggulan desa ini.
Sudah hampir enam tahun masyarakat adat Pelaga membuka diri pada kegiatan pariwisata di desa mereka. Masyarakat Pelaga menawarkan tradisi mereka sendiri sebagai daya tarik dari aktivitas wisata yang biasa disebut wisata pedesaan (village tours)
"Silakan dicoba. Ini kopi look (dibaca lok) khas Pelaga," ujar Wirata sembari menyerahkan sebuah cangkir kosong. Tangannya menunjuk ke tungku tanah dengan periuk hitam di atasnya. Asap yang keluar dari periuk beraroma sedap.
Tak jelas kenapa masyarakat menyebutnya kopi look. Menurut Wirata, look merupakan sebutan khas turuntemurun warga Kiadan untuk kopi yang diolah secara tradisional dan direbus langsung dari tungku tanah liat. Kekhasan tradisi itu pula yang ditunjukkan masyarakat adat Kiadan kepada setiap wisatawan yang datang ke desa mereka. Periuk tanah yang sudah menghitam, disajikan seadanya. Kopi pun dituang dengan sendok besar dari batok kelapa yang terlihat agak usang. Sangat natural.
Menyeruput kopi look di tengah hawa dingin Pelaga, memberi kehangatan yang nikmat. Nikmat karena rasa kopi look yang kental, hitam pekat, dan beraroma kuat. Apalagi ditemani dengan sepiring kecil kue lukis injin, kue khas Kiadan dari kukusan ketan hitam yang dilengkapi taburan kelapa parut dan siraman gula aren.
Rasa nikmat kopi look mengundang penasaran. Kami lantas diajak menyusuri lebih dalam tradisi kopi Kiadan Pelaga. Mulai bagaimana kopi ditanam, dirawat, dipanen, dan diolah hingga siap dinikmati.
Wirata mengajak kami ke sebuah kebun kopi. Tak jauh dari Kubu Kopi Kiadan. Hamparan tanaman kopi yang buahnya mulai memerah, tampak cantik di antara rimbun pohon dadap dan pohon mindi. Sambil berjalan menyusuri jalan sempit di antara tanaman kopi, Wirata membagi pengetahuannya tentang menanam dan memanen kopi.
Bagian paling menyenangkan dari perjalanan kopi ini adalah memetik biji-biji kopi. Kebetulan kami datang tepat di masa-masa panen kopi. Pemilik kebun Ni Made Cita langsung mengajari kami cara memilih kopi layak panen. "Yang warnanya merah tua merata, bisa dipetik," ujar perempuan 43 tahun itu.
Puas memetik sendiri biji kopi Pelaga, kami diajak menengok proses pengolahan biji kopi secara tradisional. "Untuk pengolahan tradisional, kopi yang baru dipetik dijemur langsung di bawah terik matahari selama berhari-hari hingga kering. Setelah kering, biji kopi dibersihkan dari kulitnya, lalu disangrai di atas tungku kayu bakar," tutur Wirata.
Sebagian besar petani kopi Pelaga mengolah biji kopinya secara tradisional. Ini menjadi bagian unik lain yang bisa dinikmati di Pelaga. Pasalnya, mereka masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, seperti tungku batu bata berukuran besar, penggorengan dari tanah liat, dan sendok kayu berukuran sedang.
Menelusuri tradisi kopi di Desa Adat Kiadan Pelaga, benar-benar memberi pengalaman wisata yang luar biasa. Setidaknya, hal itu yang dirasakan seorang pengunjung, I Gede Ardika. Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI ini mengaku kagum dengan ekowisata Pelaga. "Ini benar-benar pariwisata dari, oleh, dan untuk masyarakat. Memperkenalkan tradisi khas masyarakat secara jujur," ujarnya bangga.
Penasaran? Bila Anda berkunjung ke Bali, jangan lewatkan kesempatan menyeruput tradisi kopi khas Bali lewat ekowisata Desa Kiadan Pelaga.
Apa yang ditawarkan Banjar Kiadan Pelaga kepada pengunjung
Perjalanan di Kiadan Pelaga berbeda-beda, tergantung pada ketertarikan anda dan kegiatan yang sedang berlangsung di banjar ketika anda berkunjung. Rencana perjalanan akan dibuat berdasarkan kesepakatan dengan anda, sebelum keberangkatan. Aktivitas yang dapat anda pilih di Kiadan Pelaga terdiri dari:
Belajar dan membantu proses pengolahan kopi. Pemandu lokal akan mengajak anda melewati setiap tahap dalam prosesnya, diawali dari cara menanam dan memelihara, memetik biji kopi, mengeringkan, mengupas, menyangrai, dan menggiling untuk pengolahan kopi kering. Selama melakukan hal tersebut anda akan bertemu dengan petani di setiap tahapan, dan anda bisa mempelajari segala hal yang terjadi di belakang bisnis kopi yang ada.
Berkeliling wilayah banjar dengan pemandu lokal. Kegiatan ini merupakan peluang bagi anda untuk mendengar dan mengetahui hal unik dari sejarah dan budaya Kiadan Pelaga. Anda juga akan belajar tentang isu pengelolaan sumberdaya wilayah. Anda diharapkan untuk tidak mengeksplorasi pura desa dan mataair, karena keduanya sangat terkait dengan kepercayaan lokal.
Treking kebun dan hutan. Berjalan menyusuri pegunungan dan menikmati udara yang dingin, mencium bau tanah. Anda akan berjalan menuju sungai yang bening dan bersih. Anda juga akan melihat berbagai jenis tenaman dan mendengar suara burung di tengah perjalana. Pemandu lokal anda akan menceritakan segala jenis tanaman hutan dan cara melestarikannya. Sebelum berangkat anda akan dibekali sebotol air minum, dan sebuah tongkat untuk digunakan dalam perjalanan karena medan yang dilalui curam dan licin.
Melihat berbagai jenis burung di pagi hari. Anda juga bisa mengabadikannya dengan kamera anda. Pemandu anda akan menceritakan jenis burung yang ditemui. Jika beruntung, anda bisa menjumpai burung titiran, jenis burung yang berperan dalam keberadaan orang Kiadan Pelaga. Untuk kegiatan ini, anda disarankan bermalam di Kiadan Pelaga karena berbagai jenis burung paling banyak bisa dilihat pada pagi hari ketika matahari terbit.
Belajar dan merasakan nasi dari padi lokal. Jenis padi lokal yang ditanam pada lahan kering ini sudah jarang terdapat di Bali. Padi organik berwarna merah, disimpan di dalam lumbung padi setelah panen. Anda bisa melihat tanaman yang lebih tinggi dari padi pada umumnya, yaitu sekitar satu meter ketika akan dipanen. Anda bisa ikut memanen untuk kemudian merasakan nasi lokal organik. Kegiatan ini hanya bisa dinikmati satu tahun sekali, yaitu pada bulan Februari.
Anda akan disambut dengan kopi khas Kiadan yang asli dan organik, dengan makanan ringan. Makan siang ala Bali akan disediakan untuk semua perjalanan sehari di Kiadan Pelaga. Jika anda memutuskan untuk bermalam atau tinggal beberapa hari, makan pagi, siang, dan malam, serta dua kali makanan ringan juga akan disediakan.
Daerah Banjar Kiadan Desa Pelaga Petang Badung
Ngenteg Linggih di Pura Puseh, Kiadan Pelaga
Selasa, 14 April 2009 ... suasana sekitar tiba-tiba terasa dingin setelah sebagian besar orang pergi meninggalkan 'panggung'. Sisa senyum dan tawa masih ada di wajah mereka, anak-anak sampai orang tua. Jam 00 kurang 15 menit. Komang yang saat ini menjadi murid TK, sudah tidak kuat menahan kantuknya, tertidur pulas di bale dawa menunggu orang tuanya membereskan tempat pertunjukan.Rangkaian acara ngenteg linggih, dan hiburan keseniannya baru saja berakhir, ditutup dengan pementasan Bondres Pan Godogan: Pan Go, Mang Pekak, Anom, Tu Eka. Hampir sepanjang pertunjukkan penonton tertawa lebar, paling tidak tersenyum, dan kadang diam berpikir atas banyolan para bondres-er.
Sebelumnya empat jenis tarian juga dipertunjukkan oleh anak dan orang dewasa asli Kiadan.
Ngenteg linggih merupakan upacara yang ditujukan untuk penyucian pura dan kelengkapannya melalui pecaruan juga untuk menstanakan Ida Sanghyang Widhi di pura. Upacara tersebut merupakan rangkaian kegiatan setelah pembangunan atau perbaikan pura, dan dilakukan setelah pemelaspasan. Ngenteg linggih dimaknai juga sebagai satu media untuk memusatkan pikiran dan perasaan umat sehingga mampu 'menghadirkan' Tuhan dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya.
Maka sebagai simbol pernyataan bahwa upacara ngenteg linggih sudah dilaksanakan secara sah, rangkaiannya ditutup oleh Tari Topeng Sidakarya yang diartikan sebagai keberhasilan.
DESA PELAGA PETANG BADUNG
Desa Pelaga
Gambaran Umum Desa Pelaga
Desa Pelaga merupakan sebuah desa yang terletak di Kabupaten
Badung, Bali. Desa ini termasuk dalam kecamatan Petang yang terletak paling ujung utara Kabupaten Badung. Lebih
detailnya terletak kurang lebih 45 km sebelah utara Denpasar. Desa
Pelaga merupakan sebuah desa yang ada di dataran tinggi dengan
ketinggian
1017 m dpl. Terletak pada dataran tinggi yang berbukit hijau dan memiliki tingkat polusi yang masih sangat rendah. Desa ini juga banyak digunakan
sebagai jalur alternatif dari Denpasar menuju Batur yang melewati objek wisata
Sangeh, persawahan yang indah dengan jalan pedesaan yang masih asri.
Desa Pelaga banyak menawarkan agrowisata yang menarik lengkap
dengan ekologinya yang indah.Tofografi desa ini membuat desa ini memiliki pemandangan yang indah dan suhu yang nyaman. Selain itu, Pelaga juga terkenal dengan
hortikulturnya yang luas dan beragam, mulai dari sayur-mayur, kopi, vanili,
jagung, dan masih banyak lagi. Keindahan pemandangan Jembatan Bangkung yang terkenal serta suasananya yang
asri, nyaman, dan segar sangat berpotensi untuk dikembankan sebagai desa
ekowisata.
Desa
ini memiliki luas 3545,204 Ha terdiri dari sembilan dusun/banjar antara
lain; Nungnung, Kiadan, Pelaga, Bukian, Tinggan, Tiyingan, Semanik,
Auman dan Bukit Munduk Tiying. Panorama
serupa dapat dijumpai di sebelah barat desa pelaga yaitu berupa
pengunungan yang berundak hijau nan subur. Batas sebelah utara desa
Pelaga yaitu hutan lindung milik Negara dan pura Puncak Mangu yang
memiliki panorama asri persawahan.
Danau Beratan
Pura Ulun Danu Bedugul
Bedugul
terletak di desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti kabupaten tabanan
kurang lebih jaraknya 45 km dari pusat kota kabupaten Tabanan. Di Objek
wisata bedugul terdapat sebuah pura yang bernama pura di ulun danu yang
terletak di pinggir danau beratan . pura ulun danu di percaya sebagai
tempat bersemayaman dewi sri atau dewi kesububuran
Nama pura ulun danu diambil dari kata danau Bedugul
adalah objek wisata bali yang terletak di perbukitan dengan cuaca yang
sangat sejuk dimana di bedugul juga terdapat sebuah danau yang bernama
danau beratan.
urian sejarah Pura Ulun Danu Beratan diketahui dari arkeologi dan data sejarah yang terdapat dalam lontar babad Mengwi. Di sebelah kiri halaman depan pura Ulun Danu Beratan
terdapat sebuah sarkopagus dan sebuah papan batu, yang berasal dari
masa tradisi megalitik, sekitar 500 SM. Kedua artefak tersebut sekarang
ditempatkan masing-masing di atas Babaturan atau teras diperkirakan
lokasi di mana Pura Ulun Danu Beratan, telah digunakan sebagai tempat
untuk melaksanakan kegiatan ritual sejak jaman megalitik.
Dalam lontar Babad Mengwi tersirat menguraikan bahwa I Gusti Agung Putu sebagai pendiri kerajaan Mengwi mendirikan Pura di pinggir Danau Beratan, sebelum beliau mendirikan pura taman ayun Dalam lontar tersebut tidak disebutkan kapan beliau mendirikan Pura Ulun Danu Beratan, namun yang terdapat dalam lontar itu adalah pendirian pura taman ayun yang upacaranya berlangsung pada hari Anggara Kliwon Medangsia tahun Saka Sad Bhuta Yaksa Dewa yaitu tahun caka 1556 atau 1634 M. Berdasarkan uraian dalam lontar Babad Mengwi tersebut diketahui bahwa Pura Ulun Danu Beratan didirikan sebelum tahun saka 1556, oleh I Gusti Agung Putu. Semenjak pendirian pura tesebut termasyurlah kerajaan Mengwi, dan I Gusti Agung Putu digelari oleh rakyatnya " I Gusti Agung Sakti".
Dalam lontar Babad Mengwi tersirat menguraikan bahwa I Gusti Agung Putu sebagai pendiri kerajaan Mengwi mendirikan Pura di pinggir Danau Beratan, sebelum beliau mendirikan pura taman ayun Dalam lontar tersebut tidak disebutkan kapan beliau mendirikan Pura Ulun Danu Beratan, namun yang terdapat dalam lontar itu adalah pendirian pura taman ayun yang upacaranya berlangsung pada hari Anggara Kliwon Medangsia tahun Saka Sad Bhuta Yaksa Dewa yaitu tahun caka 1556 atau 1634 M. Berdasarkan uraian dalam lontar Babad Mengwi tersebut diketahui bahwa Pura Ulun Danu Beratan didirikan sebelum tahun saka 1556, oleh I Gusti Agung Putu. Semenjak pendirian pura tesebut termasyurlah kerajaan Mengwi, dan I Gusti Agung Putu digelari oleh rakyatnya " I Gusti Agung Sakti".
Pura Luhur Pucak Mangu
PURA PUCAK MANGU – PELAGA
Posted by
pura pura dibali
,
at
7:00 AM
Catatan tertulis secara akurat
mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada
beberapa petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan
itupun samar. Namun catatan para orang leluhur orang Bali sangat
berarti bagi kehidupan masa sekarang dalam rangka mencermati keberadaan
pura-pura di pulau Bali yang banyaknya ribuan. Pura Pucak Mangu sudah
ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti
diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I
Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari
keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I
Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari
kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan
Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura
Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
umat Hindu yang terus berkembang. Puncak Gunung Mangu ini memang sangat
hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang
pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan
untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman
serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara
itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam
peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena
Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar
tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah
diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi.
Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara
kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri
Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada
I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari
Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan
agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga
inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya
dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung
Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini
juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang
dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan
orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di
Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Di
Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di
dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah
kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis
tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4
(Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa
Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya
sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga
Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst.
Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya
dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru
Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
Letak Geografis
Pura
Pucak Mangu terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar
yang beriklim normal, curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan
temperature rata-rata 24,2 derajat celcius. Kelemababan rata-rata 92,5
%, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar dengan penyinaran 65%. Untuk
pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan, angka-angka
klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari
berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. Pemilihan lokasi pura,
pemukiman pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda
dengan nalar sain dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan
berbentuk arsitektur, pemakaian bahan dan pertimbangan orientasi,
dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi juga sirkulasi dan sirkulasi
dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada angka-angka basement
geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang alam dari
lokasi terpilih.
Potensi Pura Pucak Mangu
Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :
Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :
a. Struktur Bangunan
Pura
Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat di Bali yang didirikan
sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi yaitu
sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu
seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya
didasarkan pada konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu
jaba sisi ( halaman luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan (
halaman dalam ) dengan struktur bangunan khas Bali. Palebahan pura yang
paling timur adalah sthana Ida Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga
Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana di bawahnya terdapat batu
berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran paling besar.
Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.
Selanjutnya
palebahan di sebelah baratnya berupa Meru Tumpang Sebelas sebagai
sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan ini sedikit terpisah
dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di daratan. Palebahan
ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci dengan
pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate
Bang. Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak
Sangkur dan sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. Palinggih yang
lain adalah jajaran kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah
Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung, Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan
Saluang, Gedong beratap pane, lima buah gedong lainnya, sejumlah balai
yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit, Bale Papelik, Bale
Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan keempat berada
di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem Purwa.
b. Adat-istiadat
Upacara
di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat
dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura
Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara
Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin
di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu
Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman.
Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan
kedua upacara pokok tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan
biasanya diiringi dengan tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris
gede, wayang lemah.
c. Potensi Flora
Pura
Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan hutan lindung yang
kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak di kawasan
puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut. Kesuburan
dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora
yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun
hidupnya. Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur
lintasan setapak dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai
berikut seprti anggrek, talas sembung, tedted, paku jukut (sayur),
buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan berbagai jenis tumbuhan jalar
dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi termasuk tanaman kopi,
cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.
b. Potensi Fauna
Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal
Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal
Jembatan Tukad Bangkung Plaga
Jembatan Tukad Bangkung
Di Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, Indonesia, diresmikan penggunaannya pada 19 Desember 2006. Jembatan yang menghubungkan tiga kabupaten, masing-masing Badung, Bangli, dan Buleleng itu menjadi jembatan terpanjang di Bali dan diklaim sebagai tertinggi di Asia.
Jembatan Tukad Bangkung mempunyai panjang 360 meter, lebar 9,6 meter, dengan pilar tertinggi mencapai 71,14 meter, dan pondasi pilar 41 meter di bawah tanah. Jembatan itu berteknologi balanced cantilever, dengan perkiraan usia pakai selama 100 tahun.
Dengan alasan supaya tidak mengurangi pemandangan di sekitarnya, jembatan itu tidak dibangun dengan atap di atasnya. Konstruksi jembatan itu diperkirakan tahan terhadap gempa hingga 7 skala Richter. Jembatan itu menggantikan jembatan lama yang letaknya berada 500 meter di arah selatan Jembatan Tukad Bangkung.Diperlukan dana Rp 49 miliar lebih untuk membangun jembatan itu. Dana itu berasal murni dari APBD Provinsi Bali, dengan sistem multiyears sejak tahun 2001 lalu. Pembangunan jembatan itu sekaligus memangkas jarak di jembatan lama sepanjang 6 kilometer.
FROM: I WAYAN AGUS DARSANA
Di Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, Indonesia, diresmikan penggunaannya pada 19 Desember 2006. Jembatan yang menghubungkan tiga kabupaten, masing-masing Badung, Bangli, dan Buleleng itu menjadi jembatan terpanjang di Bali dan diklaim sebagai tertinggi di Asia.
Jembatan Tukad Bangkung mempunyai panjang 360 meter, lebar 9,6 meter, dengan pilar tertinggi mencapai 71,14 meter, dan pondasi pilar 41 meter di bawah tanah. Jembatan itu berteknologi balanced cantilever, dengan perkiraan usia pakai selama 100 tahun.
Dengan alasan supaya tidak mengurangi pemandangan di sekitarnya, jembatan itu tidak dibangun dengan atap di atasnya. Konstruksi jembatan itu diperkirakan tahan terhadap gempa hingga 7 skala Richter. Jembatan itu menggantikan jembatan lama yang letaknya berada 500 meter di arah selatan Jembatan Tukad Bangkung.Diperlukan dana Rp 49 miliar lebih untuk membangun jembatan itu. Dana itu berasal murni dari APBD Provinsi Bali, dengan sistem multiyears sejak tahun 2001 lalu. Pembangunan jembatan itu sekaligus memangkas jarak di jembatan lama sepanjang 6 kilometer.
FROM: I WAYAN AGUS DARSANA
Langganan:
Postingan (Atom)