Translate

Senin, 19 Agustus 2013

Produksi Produk Tanaman Di Daerah banjar Kiadan Pelaga

Menyeruput Tradisi Kopi Bali

Sabtu, 14 Juni 2008 14:03 wib
detail berita
Foto: Corbis

TUR menelusuri tradisi masyarakat Desa Adat Kiadan Pelaga, memberi nilai-nilai kearifan lokal secara lebih jujur.

Hawa dingin mulai merasuk ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki kawasan Desa Adat Kiadan Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali. Setelah hampir satu jam berkendara dari Kota Denpasar, menempuh perjalanan sejauh 60 km, kami berhenti di Balai Subak Abian Sari Boga Kiadan Pelaga.

Subak merupakan organisasi petani tradisional di Bali yang bertugas memelihara dan mengatur sistem irigasi pertanian secara turun-temurun.

"Di sini kami biasanya melakukan pertemuan-pertemuan adat, juga pertemuan untuk membahas masalah-masalah pertanian. Tapi kalau ada tamu, kami upgrade jadi seperti ini," tutur Gede Wirata, local guide asal desa setempat yang menyambut kami.

Balai Subak itu terlihat berbeda, disulap menjadi layaknya sebuah restoran. Kata Wirata, hal itu dilakukan setiap kali ada wisatawan datang ke Pelaga.

"Kami menyebut tempat ini dengan sebutan Kubu Kopi Kiadan," ucap pria yang sudah delapan tahun menjadi pemandu wisata di desanya. Kubu merupakan sebutan untuk bangunan semacam gubuk di Bali. Disebut Kubu Kopi karena kopi merupakan produk unggulan desa ini.

Sudah hampir enam tahun masyarakat adat Pelaga membuka diri pada kegiatan pariwisata di desa mereka. Masyarakat Pelaga menawarkan tradisi mereka sendiri sebagai daya tarik dari aktivitas wisata yang biasa disebut wisata pedesaan (village tours)

"Silakan dicoba. Ini kopi look (dibaca lok) khas Pelaga," ujar Wirata sembari menyerahkan sebuah cangkir kosong. Tangannya menunjuk ke tungku tanah dengan periuk hitam di atasnya. Asap yang keluar dari periuk beraroma sedap.

Tak jelas kenapa masyarakat menyebutnya kopi look. Menurut Wirata, look merupakan sebutan khas turuntemurun warga Kiadan untuk kopi yang diolah secara tradisional dan direbus langsung dari tungku tanah liat. Kekhasan tradisi itu pula yang ditunjukkan masyarakat adat Kiadan kepada setiap wisatawan yang datang ke desa mereka. Periuk tanah yang sudah menghitam, disajikan seadanya. Kopi pun dituang dengan sendok besar dari batok kelapa yang terlihat agak usang. Sangat natural.

Menyeruput kopi look di tengah hawa dingin Pelaga, memberi kehangatan yang nikmat. Nikmat karena rasa kopi look yang kental, hitam pekat, dan beraroma kuat. Apalagi ditemani dengan sepiring kecil kue lukis injin, kue khas Kiadan dari kukusan ketan hitam yang dilengkapi taburan kelapa parut dan siraman gula aren.

Rasa nikmat kopi look mengundang penasaran. Kami lantas diajak menyusuri lebih dalam tradisi kopi Kiadan Pelaga. Mulai bagaimana kopi ditanam, dirawat, dipanen, dan diolah hingga siap dinikmati.

Wirata mengajak kami ke sebuah kebun kopi. Tak jauh dari Kubu Kopi Kiadan. Hamparan tanaman kopi yang buahnya mulai memerah, tampak cantik di antara rimbun pohon dadap dan pohon mindi. Sambil berjalan menyusuri jalan sempit di antara tanaman kopi, Wirata membagi pengetahuannya tentang menanam dan memanen kopi.

Bagian paling menyenangkan dari perjalanan kopi ini adalah memetik biji-biji kopi. Kebetulan kami datang tepat di masa-masa panen kopi. Pemilik kebun Ni Made Cita langsung mengajari kami cara memilih kopi layak panen. "Yang warnanya merah tua merata, bisa dipetik," ujar perempuan 43 tahun itu.

Puas memetik sendiri biji kopi Pelaga, kami diajak menengok proses pengolahan biji kopi secara tradisional. "Untuk pengolahan tradisional, kopi yang baru dipetik dijemur langsung di bawah terik matahari selama berhari-hari hingga kering. Setelah kering, biji kopi dibersihkan dari kulitnya, lalu disangrai di atas tungku kayu bakar," tutur Wirata.

Sebagian besar petani kopi Pelaga mengolah biji kopinya secara tradisional. Ini menjadi bagian unik lain yang bisa dinikmati di Pelaga. Pasalnya, mereka masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, seperti tungku batu bata berukuran besar, penggorengan dari tanah liat, dan sendok kayu berukuran sedang.

Menelusuri tradisi kopi di Desa Adat Kiadan Pelaga, benar-benar memberi pengalaman wisata yang luar biasa. Setidaknya, hal itu yang dirasakan seorang pengunjung, I Gede Ardika. Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI ini mengaku kagum dengan ekowisata Pelaga. "Ini benar-benar pariwisata dari, oleh, dan untuk masyarakat. Memperkenalkan tradisi khas masyarakat secara jujur," ujarnya bangga.

Penasaran? Bila Anda berkunjung ke Bali, jangan lewatkan kesempatan menyeruput tradisi kopi khas Bali lewat ekowisata Desa Kiadan Pelaga.

Apa yang ditawarkan Banjar Kiadan Pelaga kepada pengunjung
Perjalanan di Kiadan Pelaga berbeda-beda, tergantung pada ketertarikan anda dan kegiatan yang sedang berlangsung di banjar ketika anda berkunjung. Rencana perjalanan akan dibuat berdasarkan kesepakatan dengan anda, sebelum keberangkatan. Aktivitas yang dapat anda pilih di Kiadan Pelaga terdiri dari:
Belajar dan membantu proses pengolahan kopi. Pemandu lokal akan mengajak anda melewati setiap tahap dalam prosesnya, diawali dari cara menanam dan memelihara, memetik biji kopi, mengeringkan, mengupas, menyangrai, dan menggiling untuk pengolahan kopi kering. Selama melakukan hal tersebut anda akan bertemu dengan petani di setiap tahapan, dan anda bisa mempelajari segala hal yang terjadi di belakang bisnis kopi yang ada.
Berkeliling wilayah banjar dengan pemandu lokal. Kegiatan ini merupakan peluang bagi anda untuk mendengar dan mengetahui hal unik dari sejarah dan budaya Kiadan Pelaga. Anda juga akan belajar tentang isu pengelolaan sumberdaya wilayah. Anda diharapkan untuk tidak mengeksplorasi pura desa dan mataair, karena keduanya sangat terkait dengan kepercayaan lokal.
Treking kebun dan hutan. Berjalan menyusuri pegunungan dan menikmati udara yang dingin, mencium bau tanah. Anda akan berjalan menuju sungai yang bening dan bersih. Anda juga akan melihat berbagai jenis tenaman dan mendengar suara burung di tengah perjalana. Pemandu lokal anda akan menceritakan segala jenis tanaman hutan dan cara melestarikannya. Sebelum berangkat anda akan dibekali sebotol air minum, dan sebuah tongkat untuk digunakan dalam perjalanan karena medan yang dilalui curam dan licin.
Melihat berbagai jenis burung di pagi hari. Anda juga bisa mengabadikannya dengan kamera anda. Pemandu anda akan menceritakan jenis burung yang ditemui. Jika beruntung, anda bisa menjumpai burung titiran, jenis burung yang berperan dalam keberadaan orang Kiadan Pelaga. Untuk kegiatan ini, anda disarankan bermalam di Kiadan Pelaga karena berbagai jenis burung paling banyak bisa dilihat pada pagi hari ketika matahari terbit.
Belajar dan merasakan nasi dari padi lokal. Jenis padi lokal yang ditanam pada lahan kering ini sudah jarang terdapat di Bali. Padi organik berwarna merah, disimpan di dalam lumbung padi setelah panen. Anda bisa melihat tanaman yang lebih tinggi dari padi pada umumnya, yaitu sekitar satu meter ketika akan dipanen. Anda bisa ikut memanen untuk kemudian merasakan nasi lokal organik. Kegiatan ini hanya bisa dinikmati satu tahun sekali, yaitu pada bulan Februari.
Anda akan disambut dengan kopi khas Kiadan yang asli dan organik, dengan makanan ringan. Makan siang ala Bali akan disediakan untuk semua perjalanan sehari di Kiadan Pelaga. Jika anda memutuskan untuk bermalam atau tinggal beberapa hari, makan pagi, siang, dan malam, serta dua kali makanan ringan juga akan disediakan.

Daerah Banjar Kiadan Desa Pelaga Petang Badung

Ngenteg Linggih di Pura Puseh, Kiadan Pelaga

Selasa, 14 April 2009 ... suasana sekitar tiba-tiba terasa dingin setelah sebagian besar orang pergi meninggalkan 'panggung'. Sisa senyum dan tawa masih ada di wajah mereka, anak-anak sampai orang tua. Jam 00 kurang 15 menit. Komang yang saat ini menjadi murid TK, sudah tidak kuat menahan kantuknya, tertidur pulas di bale dawa menunggu orang tuanya membereskan tempat pertunjukan.



Rangkaian acara ngenteg linggih, dan hiburan keseniannya baru saja berakhir, ditutup dengan pementasan Bondres Pan Godogan: Pan Go, Mang Pekak, Anom, Tu Eka. Hampir sepanjang pertunjukkan penonton tertawa lebar, paling tidak tersenyum, dan kadang diam berpikir atas banyolan para bondres-er.






Sebelumnya empat jenis tarian juga dipertunjukkan oleh anak dan orang dewasa asli Kiadan.


Ngenteg linggih merupakan upacara yang ditujukan untuk penyucian pura dan kelengkapannya melalui pecaruan juga untuk menstanakan Ida Sanghyang Widhi di pura. Upacara tersebut merupakan rangkaian kegiatan setelah pembangunan atau perbaikan pura, dan dilakukan setelah pemelaspasan. Ngenteg linggih dimaknai juga sebagai satu media untuk memusatkan pikiran dan perasaan umat sehingga mampu 'menghadirkan' Tuhan dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya.

Maka sebagai simbol pernyataan bahwa upacara ngenteg linggih sudah dilaksanakan secara sah, rangkaiannya ditutup oleh Tari Topeng Sidakarya yang diartikan sebagai keberhasilan.

DESA PELAGA PETANG BADUNG

Desa Pelaga

Gambaran Umum Desa Pelaga


Desa Pelaga merupakan sebuah desa yang terletak di Kabupaten Badung, Bali. Desa ini termasuk dalam kecamatan Petang yang terletak paling ujung utara Kabupaten Badung. Lebih detailnya terletak kurang lebih 45 km sebelah utara Denpasar. Desa Pelaga merupakan sebuah desa yang ada di dataran tinggi dengan ketinggian 1017 m dpl.  Terletak pada dataran tinggi yang berbukit hijau dan memiliki tingkat polusi yang masih sangat rendah. Desa ini juga banyak digunakan sebagai jalur alternatif dari Denpasar menuju Batur yang melewati objek wisata Sangeh, persawahan yang indah dengan jalan pedesaan yang masih asri.

Desa Pelaga banyak menawarkan agrowisata yang menarik lengkap dengan ekologinya yang indah.Tofografi desa ini membuat desa ini memiliki pemandangan yang indah dan suhu yang nyaman. Selain itu, Pelaga juga terkenal dengan hortikulturnya yang luas dan beragam, mulai dari sayur-mayur, kopi, vanili, jagung, dan masih banyak lagi. Keindahan pemandangan Jembatan  Bangkung yang terkenal serta suasananya yang asri, nyaman, dan segar sangat berpotensi untuk dikembankan sebagai desa ekowisata.

Desa ini memiliki luas 3545,204 Ha terdiri dari sembilan dusun/banjar antara lain; Nungnung, Kiadan, Pelaga, Bukian, Tinggan, Tiyingan, Semanik, Auman dan Bukit Munduk Tiying.  Panorama serupa dapat dijumpai di sebelah barat desa pelaga yaitu berupa pengunungan yang berundak hijau nan subur. Batas sebelah utara desa Pelaga yaitu hutan lindung milik Negara dan pura Puncak Mangu yang memiliki panorama asri persawahan.

Danau Beratan

Pura Ulun Danu Bedugul

Bedugul terletak di desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti kabupaten tabanan kurang lebih jaraknya 45 km dari pusat kota kabupaten Tabanan. Di Objek wisata bedugul terdapat sebuah pura yang bernama pura di ulun danu yang terletak di pinggir danau beratan . pura ulun danu di percaya sebagai tempat bersemayaman dewi sri atau dewi kesububuran
Nama pura ulun danu diambil dari kata danau Bedugul adalah objek wisata bali yang terletak di perbukitan dengan cuaca yang sangat sejuk dimana di bedugul juga terdapat sebuah danau yang bernama danau beratan.
pura ulun danu beratan di bedugul
urian sejarah Pura Ulun Danu Beratan diketahui dari arkeologi dan data sejarah yang terdapat dalam lontar babad Mengwi. Di sebelah kiri halaman depan pura Ulun Danu Beratan terdapat sebuah sarkopagus dan sebuah papan batu, yang berasal dari masa tradisi megalitik, sekitar 500 SM. Kedua artefak tersebut sekarang ditempatkan masing-masing di atas Babaturan atau teras diperkirakan lokasi di mana Pura Ulun Danu Beratan, telah digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan ritual sejak jaman megalitik.
Dalam lontar Babad Mengwi tersirat menguraikan bahwa I Gusti Agung Putu sebagai pendiri kerajaan Mengwi mendirikan Pura di pinggir Danau Beratan, sebelum beliau mendirikan pura taman ayun Dalam lontar tersebut tidak disebutkan kapan beliau mendirikan Pura Ulun Danu Beratan, namun yang terdapat dalam lontar itu adalah pendirian pura taman ayun yang upacaranya berlangsung pada hari Anggara Kliwon Medangsia tahun Saka Sad Bhuta Yaksa Dewa yaitu tahun caka 1556 atau 1634 M. Berdasarkan uraian dalam lontar Babad Mengwi tersebut diketahui bahwa Pura Ulun Danu Beratan didirikan sebelum tahun saka 1556, oleh I Gusti Agung Putu. Semenjak pendirian pura tesebut termasyurlah kerajaan Mengwi, dan I Gusti Agung Putu digelari oleh rakyatnya " I Gusti Agung Sakti".

Pura Luhur Pucak Mangu

PURA PUCAK MANGU – PELAGA

,
Catatan tertulis secara akurat mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada beberapa petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan itupun samar. Namun catatan para orang leluhur orang Bali sangat berarti bagi kehidupan masa sekarang dalam rangka mencermati keberadaan pura-pura di pulau Bali yang banyaknya ribuan. Pura Pucak Mangu sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang. Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.

Letak Geografis
Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar yang beriklim normal, curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan temperature rata-rata 24,2 derajat celcius. Kelemababan rata-rata 92,5 %, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar dengan penyinaran 65%. Untuk pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan, angka-angka klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. Pemilihan lokasi pura, pemukiman pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda dengan nalar sain dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan berbentuk arsitektur, pemakaian bahan dan pertimbangan orientasi, dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi juga sirkulasi dan sirkulasi dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada angka-angka basement geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang alam dari lokasi terpilih.
Potensi Pura Pucak Mangu
Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :
a. Struktur Bangunan
Pura Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat di Bali yang didirikan sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya didasarkan pada konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu jaba sisi ( halaman luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan ( halaman dalam ) dengan struktur bangunan khas Bali. Palebahan pura yang paling timur adalah sthana Ida Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana di bawahnya terdapat batu berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran paling besar. Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.
Selanjutnya palebahan di sebelah baratnya berupa Meru Tumpang Sebelas sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan ini sedikit terpisah dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di daratan. Palebahan ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci dengan pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate Bang. Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Sangkur dan sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. Palinggih yang lain adalah jajaran kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung, Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan Saluang, Gedong beratap pane, lima buah gedong lainnya, sejumlah balai yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit, Bale Papelik, Bale Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan keempat berada di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem Purwa.
b. Adat-istiadat
Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan biasanya diiringi dengan tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris gede, wayang lemah.
c. Potensi Flora
Pura Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan hutan lindung yang kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak di kawasan puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut. Kesuburan dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun hidupnya. Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur lintasan setapak dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai berikut seprti anggrek, talas sembung, tedted, paku jukut (sayur), buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan berbagai jenis tumbuhan jalar dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi termasuk tanaman kopi, cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.
b. Potensi Fauna
Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal

Jembatan Tukad Bangkung Plaga

Jembatan Tukad Bangkung


Di Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, Indonesia, diresmikan penggunaannya pada 19 Desember 2006. Jembatan yang menghubungkan tiga kabupaten, masing-masing Badung, Bangli, dan Buleleng itu menjadi jembatan terpanjang di Bali dan diklaim sebagai tertinggi di Asia.
Jembatan Tukad Bangkung mempunyai panjang 360 meter, lebar 9,6 meter, dengan pilar tertinggi mencapai 71,14 meter, dan pondasi pilar 41 meter di bawah tanah. Jembatan itu berteknologi balanced cantilever, dengan perkiraan usia pakai selama 100 tahun.
Dengan alasan supaya tidak mengurangi pemandangan di sekitarnya, jembatan itu tidak dibangun dengan atap di atasnya. Konstruksi jembatan itu diperkirakan tahan terhadap gempa hingga 7 skala Richter. Jembatan itu menggantikan jembatan lama yang letaknya berada 500 meter di arah selatan Jembatan Tukad Bangkung.Diperlukan dana Rp 49 miliar lebih untuk membangun jembatan itu. Dana itu berasal murni dari APBD Provinsi Bali, dengan sistem multiyears sejak tahun 2001 lalu. Pembangunan jembatan itu sekaligus memangkas jarak di jembatan lama sepanjang 6 kilometer.

FROM: I WAYAN AGUS DARSANA

Pura Nataran Pucak Mangu

Pura Pucak Mangu, Pelaga





Pura Pucak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali.


Pura Padma Bhuwana itu adalah sembilan pura yang berada di sembilan penjuru Bali sebagai lambang Padma Bhuwana yaitu simbol alam semesta atau Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu sebagai Pura Padma Bhuwana berada di arah barat laut tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Sengkara -- dewanya tumbuh-tumbuhan.

Di Pura Pucak Mangu beliau dipuja di Meru Tumpang Lima dengan sebutan Batara Pucak Mangu dengan upacara piodalan-nya setiap Purnamaning Sasih Kapat. Sedangkan upacara melastinya ke Pesiraman Pekebutan yang terletak di Desa Bukian di sebelah timur Desa Plaga.

Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Penataran di Ulun Danu Beratan di Kabupaten Tabanan dan Penataran di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Pura Penataran Tinggan terletak di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung ini didirikan pada tahun 1752 Saka atau 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun.

Di Pura Penataran Tinggan ini terdapat beberapa pelinggih pokok yaitu Meru Tumpang Sebelas pelinggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang sembilan pelinggih Batara di Teratai Bang, Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara di Pucak Bon, Gedong dengan lima ruang (sejenis Pelangkiran) pelinggih Batara di Pucak Sangkur, Padma Rong Tiga untuk Pengubengan, Padmasana sebagai Surya pelinggih Saksi.

Dengan dibangunnya Pura Penataran Tinggan ini sehingga Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran. Pura Penataran yang pertama didirikan oleh I Gst. Agung Putu yang setelah menjadi Raja Mengwi pertama bergelar Cokorda Sakti Blambangan. Penataran Pura Puncak Mangu yang pertama didirikan tahun 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi di tepi Danau Beratan karena itu disebut juga Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini berada di sebelah Pura Dalem Purwa.

Di Pura Penataran pertama ini Ida Batara Puncak Mangu distanakan di Pelinggih Meru Tumpang Tiga, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Lingga Petak, karena di bawah Meru itu dijumpai batu putih sebesar manusia diapit oleh batu hitam dan batu putih. Ada juga Meru Tumpang Pitu sebagai Pesimpangan Batara Teratai Bang. Meru Tumpang Sebelas sebagai Pelinggih Batara Ulun Danu atau disebut Batara Tengahing Segara.

Penataran Pura Pucak Mangu yang kedua didirikan tahun 1752 Saka atau tahun 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun. Hal ini disebabkan pada tahun tersebut Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran. Puri Marga menguasai daerah di sekitar Danau Beratan pernah tidak patuh dan bermasalah dengan Kerajaan Mengwi.

Karena itu anggota kerajaan dan masyarakat Mengwi mengalami kesulitan kalau ingin sembahyang ke Pura Penataran di Ulun Danu Beratan. Karena itu Raja memutuskan untuk membangun Pura Penataran Pucak Mangu di Desa Tinggan. Hal itulah yang menyebabkan Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran.

Sejarah Pura Pucak Mangu

Catatan tertulis secara akurat mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada beberapa petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan itupun samar. Namun catatan para orang leluhur orang Bali sangat berarti bagi kehidupan masa sekarang dalam rangka mencermati keberadaan pura-pura di pulau Bali yang banyaknya ribuan. 

Pura Pucak Mangu sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding. I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gusti. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang. 

Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gusts. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesali dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.

Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat, nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. 

Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
 

Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.

Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
 

Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.

Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
 

Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. 

Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu, kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan. 

Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
 

Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. 
Sampai tahun 1896, saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.

Letak Geografis


Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar yang beriklim normal, curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan temperature rata-rata 24,2 derajat celcius. Kelemababan rata-rata 92,5 %, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar dengan penyinaran 65%. Untuk pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan, angka-angka klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. 

Pemilihan lokasi pura, pemukiman pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda dengan nalar sain dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan berbentuk arsitektur, pemakaian bahan dan pertimbangan orientasi, dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi juga sirkulasi dan sirkulasi dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada angka-angka basement geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang alam dari lokasi terpilih.

Upacara di Pura Pucak Mangu


Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut.

Di samping upacara piodalan setiap tahun juga diadakan upacara Ngebekin. Fungsi upacara 
Ngebekin adalah sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon agar hasil tumbuh-tumbuhan terutama padi dapat berhasil dengan baik. Dewa Sangkara adalah manifestasi Tuhan sebagai penjaga tumbuh-tumbuhan. Banten pokok dalam upacara Ngebekin yakni Banten Sorohan Pelupuhan.

Upacara Ngebekin ini tujuannya adalah memohon Tirtha Ngebekin. Umat dari delapan kelompok pemaksan setiap upacara Ngebekin membawa sujang yaitu potongan bambu yang masih hijau sebagai tempat tirtha.

Tirtha Ngebekin ini tidak boleh digunakan untuk nyiratang atau diminumkan kepada manusia. Tirtha Ngebekin itu hanya untuk kasiratang (dicipratkan) kepada sawah ladang dan tumbuh-tumbuhan pertanian. Tirtha Ngebekin itulah sebagai simbol penyucian dan pemeliharaan segala tumbuh-tumbuhan pertanian sebagai sumber hidup umat manusia.

Upacara Ngebekin ini intinya tidak berbeda dengan upacara memandikan Lingga Yoni dalam sistem Siwa Pasupata. Air dengan berbagai perlengkapannya yang dijadikan sarana memandikan Lingga itu menjadi tirtha untuk memercikan tumbuh-tumbuhan di sawah ladang simbol mohon kesuburan. Upacara memandikan Lingga inilah dilanjutkan dengan istilah upacara Ngebekin dalam sistem Siwa Sidhanta. Meski demikian, keberadaan Lingga di Pura Pucak Mangu tetap dipertahankan di Pelinggih Tepasana. Yang menarik di sini adalah banten utama yang digunakan di Pura Pucak Mangu adalah Banten Pelupuhan Bebek.

Banten-banten yang dipersembahkan ke Pura Pucak Mangu tidak boleh menggunakan daging babi. Kecuali kalau ada perbaikan pura terus dilangsungkan upacara Ngeruwak barulah banten Ngeruwak itu saja yang boleh menggunakan guling babi. Sedangkan di Pura Penataran Tinggan dipergunakan Banten Pelupuhan Babi. 

Banten Pelupuhan Babi ini menggambarkan cerita Batara Wisnu turun mencari pangkal Lingga ke bawah dengan menjadi babi hitam. Terus ketemu dengan Dewi Wasundhari. Dari pertemuan itu lahirlah Boma. Dewa Wisnu simbol air dan Dewi Wasundhari simbol pertiwi. Pertemuan air dan pertiwi melahirkan Boma. Kata Boma dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Canakya Niti menyatakan bahwa air, tumbuh-tumbuhan, dan kata-kata bijak adalah tiga ratna permata bumi. Kalau tiga hal ini diutamakan oleh manusia maka kehidupan sejahtera itu pasti dicapai. 

Potensi Pura Pucak Mangu
 

Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :

a. Struktur Bangunan

Pura Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat di Bali yang didirikan sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya didasarkan pada konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu jaba sisi ( halaman luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan ( halaman dalam ) dengan struktur bangunan khas Bali. 

Palebahan pura yang paling timur adalah sthana Ida Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana di bawahnya terdapat batu berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran paling besar. Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.

Selanjutnya palebahan di sebelah baratnya berupa Meru Tumpang Sebelas sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan ini sedikit terpisah dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di daratan. Palebahan ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci dengan pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate Bang. Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Sangkur dan sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. 

Palinggih yang lain adalah jajaran kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung, Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan Saluang, Gedong beratap pane, lima buah gedong lainnya, sejumlah balai yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit, Bale Papelik, Bale Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan keempat berada di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem Purwa.

b. Adat-istiadat

Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan biasanya diiringi dengan tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris gede, wayang lemah.

c. Potensi Flora

Pura Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan hutan lindung yang kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak di kawasan puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut. Kesuburan dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun hidupnya. Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur lintasan setapak dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai berikut seprti anggrek, talas sembung, tedted, paku jukut (sayur), buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan berbagai jenis tumbuhan jalar dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi termasuk tanaman kopi, cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.

d. Potensi Fauna
 

Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal.
 
http://www.google.com/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUrxgGmCWQaQmd-lGw8hoa3WS0Kijq6zJUttROo0aHekKigywLh6X_NwvPzZZY5jcgZtRHFJS5KZOhbB7f-K5z2jO42TBoaUKlDCpkFwD-xR9M4lpyFvKcwg9qGNwNQqHzAnExGdnOeF0/s400/100_1983ablog.jpg&imgrefurl=http://smart-pustaka.blogspot.com/2011/03/pura-pucak-mangu-pelaga.html&usg=__CW1EUKbBW521torkpFw4hZmbdC0=&h=133&w=200&sz=13&hl=id&start=16&sig2=-i84Bog1XJWfG18faBGAmw&zoom=1&tbnid=dA3yrcws9Dm_tM:&tbnh=69&tbnw=104&ei=oNoSUtGjA4mJrAfE4ICgCg&prev=/search%3Fq%3Dpura%2Bpenataran%2Bpucak%2Bmangu%26client%3Dfirefox-a%26sa%3DX%26rls%3Dorg.mozilla:id:official%26hl%3Did%26tbm%3Disch&itbs=1&sa=X&ved=0CEkQrQMwDw